Rabu, 26 Agustus 2015

RPG-7

RPG-7: Rahasia Di Balik Kelemahan dan Keunggulan Granat Berpeluncur Roket Terpopuler

onur-coban-libya-frontline-17 

Bicara tentang battle proven dan popularitas, RPG-7 (Rocket Propelled Grenade) hingga kini masih menjadi senjata jawara untuk unit infanteri, milisi, pemberontak, hingga teroris. Dikenal bandel, punya sistem kerja sederhana, mudah dalam perawatan, dan punya fleksibilitas hulu ledak, menjadi magnet tersendiri untuk permintaan RPG-7, termasuk senjata ini dipercaya sebagai senjata bantuan infanteri (senbanif) untuk Korps Marinir TNI AL.
Bicara keunggulan suatu senjata, tentunya juga ada sisi kelemahan. Untuk RPG-7 yang sering jadi langganan atribut film-film action, titik perhatian pertama ada di soal hulu ledak, RPG-7 yang hulu ledaknya mencuat keluar, plus pin pengamannya yang harus dilepas saat hendak ditembakkan, menjadikannya bom hidup yang dibawa kemana-mana saat prajurit berpindah tempat. Biarpun dircancang aman untuk dijatuhkan ke permukaan dari ketinggian tiga meter, tapi siapa bisa menjamin proses manufaktur dan penyimpanan di lapangan bisa memadai untuk menjaga kualitasnya? Dengan kata lain, pemeliharaan oleh pengguna saat digunakan di lapangan, tetap mempengaruhi efektifitas RPG saat hendak digunakan.

Masih di seputaran hulu ledak, Konon menurut hasil pengujian AD AS di Jerman pada medio 1980-an, sumbu pada hidung RPG-7 sangat sensitif dan bisa terpicu hanya akibat bertemu dengan benda keras. Belum lagi ancaman sekunder, misalnya hulu ledak yang mencuat bisa dijadikan sasaran tembak oleh sniper, sehingga saat meledak akan membunuh rekan-rekan penembak RPG-7 yang ada di sekitarnya. Kelemahan lain RPG-7 adalah booster berbahan selulosa yang rawan kelembapan.

 KormarRPG

 Struktur RPG-7

Akan tetapi, bukan berarti RPG-7 bisa takluk begitu saja. Nyatanya RPG-7 masih punya jurus andalan. Berkat hulu ledaknya yang nongol, RPG-7 memiliki jumlah hulu ledak yang jauh lebih variatif untuk berbagai aplikasi. Ini menghasilkan satu sistem senjata yang aplikatif untuk berbagai keperluan, yang berujung pada murahnya biaya penggelaran dibandingkan harus menurunkan berbagai sistem roket panggul dengan tujuan yang sifatnya spesifik. Pada gilirannya, fleksibilitas untuk pengaplikasian hulu ledak menjadi salah satu faktor mengapa RPG begitu dimintai, terutama oleh negara berkembang yang memiliki kantong pas-pasan dan kelompok gerilyawan.
Lebih detail pada soal fleksibilitas, seorang penembak RPG dapat menyesuaikan antara hulu ledak yang dibawanya dengan karakter misi yang diembannya. Mau melawan tank? Beroperasi dalam perang urban? Menyerbu basis infanteri? Penembak RPG-7 dapat memadukan hulu ledak PG-7, OG-7, dan PG-7VR secara fleksibel bergantung pada jenis sasaran. Sementara peluncur roket sekali pakai (disposable) biasanya hanya disediakan berupa hulu ledak serbaguna seperti HEAT (high explosive anti tank), yang walaupun sifatnya multpurpose, tetap tidak bisa maksimal dalam tiap tujuan penggunaanya.

Lain dari itu semua, pemahanan akan spesifikasi hardware, keterampilan prajurit dan taktik mengoperasikan sistem senjata menjadi elemen terpenting. Dengan kematangan, latihan yang cukup dan pengetahuan memadai, bukan mustahil setiap kekurangan dari peluncur roket dapat diatasi, atau bahkan bisa disulap menjadi suatu keunggulan dalam medan pertempuran. Istilah yang tepat untuk hal ini adalah the man behind the gun.

Disposable vs Reusable
Meski tidak terlalu menonjol, militer Indonesia sejak lama telah mengenal penggunaan senjata anti tank berbasis roket, seperti RPG-2, LRAC 89, C90-CR, Armbrust, dan belakangan hadir basis rudal FGM-148 Javelin Block I dan rudal NLAW (Next Generation Light Anti Tank Weapon).

Armbrust
800px-Armbrust_rocket_launcher_line_drawing_Iraq_OIG
 C90-CR

Personel TNI AD tengah berlatih menembakkan C90-CR

Ciri khas pada segmen roket sekali pakai (disposable) adalah bobotnya yang jauh lebih ringan. Karena hanya dipergunakan untuk meluncurkan roket sebanyak satu kali, tabung peluncurnya cukup dibuat dari bahan ringan seperti fiberglass yang diperkuat. Pada tabung peluncur roket disposable juga tinggal dibuang setelah roketnya diluncurkan, penembaknya sudah bisa berperan sebagai infanteri yang bertempur seperti biasa. Sementara pada peluncur roket disposable seperti C90-CR dan Armbrust, yang ada hanya flip up sight, itupun cenderung ringkih karena bahannya terbuat dari plastik. Memasaknya sistem teleskop ke peluncur roket sekali pakai yang belum tentu align atau selaras antara titik tengah teleskop dengan titik perkenaan, dan harus ribet mencopot dan menyimpannya kembali karena harga per unit teleskopnya yang mahal. Tidak hanya roket anti tank yang disposable, rudal anti tank anyar TNI yakni FGM-148 Javelin Block I dan NLAW juga bersifat disposable pada tabung peluncurnya.
Beginilah pose perajurit infanteri dalam membawa NLAW

Rangkaian sistem Javelin.

Sementara kubu roket reusable TNI diwakili oleh LRAC 89 dan RPG-7. LRAC mengusung konsep reload ala bazooka, dimana amunisi dimasukkan lewat breech (lubang belakang), ini menjadikan dimensi LRAC 89 lebih besar, namum hulu ledak terlindungi. Konsekuensi reusable adalah pada material peluncur harus dibuat dari bahan baja yang relatif tebal dan tentu saja agak berat untuk mampu menahan panas dari imbas peluncuran roket yang berulang-ulang.
Saat penembak RPG-7 dan LRAC 89 sudah kehabisan amunisi hulu ledak, tak ubahnya seperti membawa pipa besi yang tak bermanfaat sampai ia bisa mendapatkan pasokan amunisi kembali. Akan tetapi, peluncur roket reusable seperti RPG-7 jauh lebih relevan, kinerja akurasi tembakan bisa ditingkatkan lebih maksimal berkat dukungan teleskop optik yang terintegrasi.

R-Han 122mm

R-Han 122mm: Solusi Kemandirian Roket Balistik Artileri Medan

105563dmc

 Keberadaan roket tak bisa dipandang sebelah mata dalam perkembangan alutsista, pasalnya roket terbukti punya nilai strategis yang sangat diperhitungkan. Tengok saja bagaimana konsep MLRS (Multiple Launch Rokcet System) masih begitu di kedepankan oleh AS dan NATO, begitu juga dengan Indonesia yang sejak era RM70 Grad mulai ‘serius’ memikirkan kemandirian lini roket penggebuk ini. Dalam dimensi lain, penguasaan teknologi roket menjadi dasar untuk pengembangan rudal (peluru kendali). Karena pada dasarnya, rudal adalah roket yang diberi sensor pemandu dan kendali.

Indonesia sebagai salah satu Macan Asia, sudah mempelopori pengembangan roket sejak tahun 60-an. Meski adopsi roket besutan Dalam Negeri belum terlalu terasa untuk kebutuhan militer, namun pelan tapi pasti mulai terlihat hasil yang nyata, artinya sudah aplikatif untuk kebutuhan TNI. Sebagai wujudnya adalah R-Han (Roket Pertahanan) 122 mm. Roket ini termasuk jenis balistik dengan peran tembakan dari permukaan ke permukaan. Bila membadingkan dari kalibernya, R-Han yang dikembangkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhan RI, punya kesamaan kaliber dengan roket yang terdapat pada RM70 Grad milik Korps Marinir TNI AL. Untuk jarak tembak pun, kedua roket mampu melibas sasaran hingga jarak 20-an Km, khusus untuk R-Han 122 mm mampu menerjang sasaran sejauh 24 Km pada sudut elevasi peluncuran 50 derajat.

 Desain-Roket-R-HAN-122-Prokimal-Online-Kotabumi-Lampung-Utara

roket

 Merujuk dari sejarahnya, roket R-Han 122 merupakan pengembangan dari roket sebelumnya D-230 tipe RX 1210 yang dikembangkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek), yang memiliki kecepatan maksimum 1.8 Mach. Berawal pada tahun 2007 saat Kemristek membentuk Tim D230 untuk mengembangkan roket berdiameter 122 mm dengan jarak jangkau 20 kilometer. Prototipe roket D-230 ini dibeli Kemhan untuk memperkuat program seribu roket. Pemerintah membentuk Konsorsium Roket Nasional dengan ketua konsorsium PT Dirgantara Indonesia (DI), sebagai wadah memasuki bisnis massal yang sudah ada sejak 2005. Namun, baru dikembangkan roket D-230 pada 2007 hingga terbentuk konsorsium tersebut.

Konsorsium itu beranggotakan sejumlah industri strategis yang mengerjakan bermacam komponen roket. Di dalam konsorsium terdapat PT Pindad yang mengembangkan launcher dan firing system dengan menggunakan platform GAZ, Nissan, dan Perkasa yang sudah dimodifikasi dengan laras 16/warhead dan mobil launcher (hulu ledak). Kemudian juga PT Dahana menyediakan propellant, PT Krakatau Steel mengembangkan material tabung dan struktur roket. PT Dirgantara Indonesia membuat desain dan menguji jarak terbang.

 

R-Han 122mm: Solusi Kemandirian Roket Balistik Artileri Medan

105563dmc
Keberadaan roket tak bisa dipandang sebelah mata dalam perkembangan alutsista, pasalnya roket terbukti punya nilai strategis yang sangat diperhitungkan. Tengok saja bagaimana konsep MLRS (Multiple Launch Rokcet System) masih begitu di kedepankan oleh AS dan NATO, begitu juga dengan Indonesia yang sejak era RM70 Grad mulai ‘serius’ memikirkan kemandirian lini roket penggebuk ini. Dalam dimensi lain, penguasaan teknologi roket menjadi dasar untuk pengembangan rudal (peluru kendali). Karena pada dasarnya, rudal adalah roket yang diberi sensor pemandu dan kendali.
Indonesia sebagai salah satu Macan Asia, sudah mempelopori pengembangan roket sejak tahun 60-an. Meski adopsi roket besutan Dalam Negeri belum terlalu terasa untuk kebutuhan militer, namun pelan tapi pasti mulai terlihat hasil yang nyata, artinya sudah aplikatif untuk kebutuhan TNI. Sebagai wujudnya adalah R-Han (Roket Pertahanan) 122 mm. Roket ini termasuk jenis balistik dengan peran tembakan dari permukaan ke permukaan. Bila membadingkan dari kalibernya, R-Han yang dikembangkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhan RI, punya kesamaan kaliber dengan roket yang terdapat pada RM70 Grad milik Korps Marinir TNI AL. Untuk jarak tembak pun, kedua roket mampu melibas sasaran hingga jarak 20-an Km, khusus untuk R-Han 122 mm mampu menerjang sasaran sejauh 24 Km pada sudut elevasi peluncuran 50 derajat.
Desain-Roket-R-HAN-122-Prokimal-Online-Kotabumi-Lampung-Utararoket
Merujuk dari sejarahnya, roket R-Han 122 merupakan pengembangan dari roket sebelumnya D-230 tipe RX 1210 yang dikembangkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek), yang memiliki kecepatan maksimum 1.8 Mach. Berawal pada tahun 2007 saat Kemristek membentuk Tim D230 untuk mengembangkan roket berdiameter 122 mm dengan jarak jangkau 20 kilometer. Prototipe roket D-230 ini dibeli Kemhan untuk memperkuat program seribu roket. Pemerintah membentuk Konsorsium Roket Nasional dengan ketua konsorsium PT Dirgantara Indonesia (DI), sebagai wadah memasuki bisnis massal yang sudah ada sejak 2005. Namun, baru dikembangkan roket D-230 pada 2007 hingga terbentuk konsorsium tersebut.
Konsorsium itu beranggotakan sejumlah industri strategis yang mengerjakan bermacam komponen roket. Di dalam konsorsium terdapat PT Pindad yang mengembangkan launcher dan firing system dengan menggunakan platform GAZ, Nissan, dan Perkasa yang sudah dimodifikasi dengan laras 16/warhead dan mobil launcher (hulu ledak). Kemudian juga PT Dahana menyediakan propellant, PT Krakatau Steel mengembangkan material tabung dan struktur roket. PT Dirgantara Indonesia membuat desain dan menguji jarak terbang.

Pendukung lain dalam konsorsium adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) turut menyediakan alat penentu posisi jatuh roket. ITB menyediakan sistem kamera nirkabel untuk menangkap dan mengirim gambar saat roket tiba di sasaran. Sejumlah perguruan tinggi lainnya, yakni UGM, ITS, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Suryadharma, ikut terlibat di dalam pengembangan roket tersebut. Nama D-230 kemudian diganti menjadi R-Han 122 karena sudah dibeli Kementerian Pertahanan.
Hadir Lewat Penyempurnaan
Pada tahun 2003 para periset menggunakan material kritis dengan ketebalan baja 1,2 mm, tetapi produk justru cepat jebol. Kemudian para peneliti mulai memperbaiki sistem isolasi termal. Saat roket meluncur sempurna dibutuhkan suhu 3.000 derajat Celcius. Pembakaran dengan menghasilkan suhu tinggi bisa berakibat fatal apabila sistem isolasi termal tidak bekerja dengan baik. Karena itu, di ruang isolasi termal diberi karet atau polimer yang bisa menghambat panas.
Untuk material roket, dipilih bahan yang ringan, yakni aluminium, karena bisa menghambat panas. Perubahan-perubahan itu ternyata menghasilkan roket yang tidak pernah rusak saat di ujicobakan. Sistem isolasi termal untuk membuat roket militer tidaklah mudah. Para periset beberapa kali melakukan uji coba hingga menemukan kesempurnaan pada roket R-Han 122 itu.

antarafoto-Wamenhan280312-1

antarafoto-Wamenhan280312-2

 R-Han 122mm pada platform peluncur jip Land Rover

 Pada platform tank ringan SBS Pindad

 Pada platform truk 6x6


Dalam uji coba pada Maret 2012, sebanyak 50 roket R-Han 122 diluncurkan di Pusat Latihan Tempur TNI Angkatan Darat Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan. R-Han 122 berfungsi sebagai senjata berdaya ledak optimal dengan sasaran darat dan jarak tembak sampai 15 kilometer. Kala itu, Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengaku puas atas pengembangan Roket R-Han 122mm yang diproduksi bangsa Indonesia sebagai wujud kemandirian roket nasional.
Penyokong Kemandirian MLRS
Setelah roketnya berhasil di uji coba dan memuaskan standar yang dibutuhkan militer, kemudian tiba pada implementasi untuk gelar roket tersebut. Nah, untuk urusan yang satu ini nampaknya Litbang Kemenhan dan PT Pindad mulai fokus pada adopsi R-Han 122 mm untuk platform MLRS. Hal tersebut terlihat jelas pada ajang Indo Defence 2014, terlihat platform MLRS dengan basis roke R-Han 122 mm pada prototipe tank ringan SBS dan peluncur roket MLRS pada truk 6×6 buatan PT Alam Indomesin Utama. Bahkan, pada Indo Defence 2010, pernah ditampilkan peluncur roket R-Han 122 mm pada basis jip Land Rover dan basis MLRS tarik (towed).
Spesifikasi Teknis Roket R-Han 122mm
  • Tipe roket : Balistik permukaan ke permukaan
  • Tipe fin : Wrapped arround
  • Tipe propelan : Propelan komposit
  • Panjang propelan : 2.000 mm
  • Propelan star : 400 mm
  • Propelan roket : 2.750 mm
  • Berat propelan : 23,20 kg
  • Berat motor roket : 44 kg
  • Berat roket : 59,60 kg
  • Kecepatan max : 1.8 Mach
  • Jarak tembak : 24 Km pada sudut elevasi 50 derajat
  • Waktu terbang : 80 detik
  • Tipe hulu ledak : Inert/dummy, smoke, dan tajam aktif (live).

BM-14/17

BM-14/17 : Generasi Pertama Self Propelled MLRS Korps Marinir TNI AL

 Selain kondang karena reputasi tempurnya, Korps Marinir TNI AL juga menjadi elemen komando utama (kotama)TNI yang unik bila dicermati dari sisi arsenal alutista yang dimilikinya. Keberadaan alutsista tua, seperti tank PT-76 dan pansam BTR-50, memang menjadi trade mark yang melekat kuat di mata masyarakat Indonesia. Tapi bila mau dibedah, bukan hanya tank/panser amfibi, meriam, dan  KAPA (kendaraan amfibi pengangkut artileri) yang  asli produk Uni Soviet, dan masih digunakan hingga cukup lama, masih ada satu alutsista lain yang namanya tak begitu nyaring didengar, tapi punya kontribusi besar dalam operasi militer di Tanah Air, yang dimaksud adalah BM (Boyevaya Mashina )-14/17.

BM-14/17 adalah jenis self propelled MLRS (multiple launch rocket system) yang pertama kali digunakan oleh TNI. Sejak tahun 1961, atau bertepatan dengan masa operasi Trikora, Korps Marinir membentuk batalyon Artileri Bantuan Jarak Dekat yang berbasis di Surabaya. Modal utama batalyon tersebut pastinya senjata besutan Uni Soviet, yakni peluncur roket BM-14/17. Seiring waktu berjalan, satuan ini berganti nama menjadi batalyon artileri medan, dan kemudian dimekarkan menjadi batalyon Howitzer dan batalyon roket. Dan mengikuti reorganisasi Korps Marinir masa kini, dibentuk Batalyon Roket Pasmar (Pasukan Marinir)-1 di Surabaya, dan Batalyon Roket Pasmar-2 di Jakarta. Untuk komposisi kekuatannya, satu baterai (setingkat kompi) dilengkapi 6 peluncur BM-14. Dimana dalam satu batalyon artileri umumnya terdapat 3 baterai.


BM-14 sebagai sistem peluncur roket terdiri dari 2 baris rangkaian tabung peluncur. Roketnya mengusung kaliber 140mm, totalnya ada 16 peluncur roket. Unjuk kebolehan senjata ini memang sangat dahsyat, dapat menggasak banyak sasaran dalam waktu singkat. Dibanding jenis meriam, MLRS dapat memuntahkan beberapa proyektil ke sasaran sekaligus dalam tempo singkat, daya hancurnya pun lebih menakutkan ketimbang Howitzer.
Untuk BM-14/17 mempunyai jangkauan tembak hingga 9.810 meter. Soal kecepatan tembak, BM-14/17, mampu melontarkan 2 roket per detik dengan kecepatan luncur roket 400 meter per detik. Alhasil 16 roket akan meluncur hanya dalam waktu 8 detik.  Kecepatan pembakaran roketnya pun sungguh luar biasa, yakni 1 hingga 0,5 detik. Performa maksimum tersebut dapat dicapai pada rentang temperatur suhu -40 hingga 50 derajat celcius.
Berat total system peluncur BM-14/17 mencapai 2120Kg, untuk menghantam sasaran, peluncur dapat digerakan dengan sudut elevasi 0 hingga 50 derajat. Untuk roketnya sendiri, masing-masing punya berat total 39,6Kg dengan 4,2Kg hulu ledak. Salah satu kelemahan dari BM-14 yakni pengisian amunisi masih menggunakan cara manual, sehingga berpotensi membayakan keselamatan awaknya.

Platform Truk Gaz-66
Senjata dengan daya getar tinggi tentu harus ditunjang dengan platform kendaraan pembawa yang memadai. Sebagai self propelled MLRS, BM-14/17 dipasang pada truk jens Gaz-66. Meski wujudnya jadul, Gaz-66 sudah berpenggerak roda 4×4, sehingga sanggup melaju di medan off road. Gaz-66 menyedian 4 kursi untuk awak BM-14 (posisi 2×2) dan satu tambahan kursi pada kompartemen pengemudi. Gaz-66 dapat melaju hingga kecepatan 60Km per jam, dan jarak tempuhnya bias mencapai 600Km.


 



 









Battle Proven
BM-14 dirancang Uni Soviet selepas perang dunia kedua, versi awalnya adalah RPU-14 dengan kaliber 140mm, konsep rancangan senjata ini sudah dimulai sejak tahun 1952. Dari yang awalnya mengandalkan system tarik (towed), kemudian RPU-14 dipasangkan pada platform truk, dan jadikan wujud BM-14. Roket ini terbilang laris manis diadopsi oleh negara-negara sekutu Rusia/Uni Soviet, dan Indonesia patut bersyukur karena sempat membuktikan BM-14 dalam ajang peperangan yang sesungguhnya, yakni pada masa operasi Seroja di tahun 1970-an.
Bagi banyak kalangan militer, jangkauan tembak dan daya gempur BM-14 masih dirasa kurang. Untuk mengakalinya, dirancanglah roket dengan caliber yang diperkecil, tujuannya agar roket bisa terbang lebih lincah, jarak tempuhnya dapat lebih jauh, dan roket yang dimuntahkan bisa lebih banyak. Pemikiran inilah yang kemudian memunculkan versi baru self propelled MLRS, seperti BM-21 Grad yang muncul tahun 1964 dengan caliber 122mm – 40 peluncur roket. Dan melewati jalannya waktu, diadopsi oleh RM 70 Grad, self propelled MLRS milik Korps Marinir, pengganti BM-14 yang dibeli dari Cekoslovakia pada tahun 2003.









Meski belum ada informasi resmi, kini BM-14 sudah di grounded pada awal tahun 2000. Selain karena usia, untuk roket caliber 140mm juga sudah tak diproduksi lagi di negara asalnya. Beberapa kali BM-14 tampil di muka umum, salah satunya pernah penulis lihat pada HUT ABRI ke 50 pada tahun 1995 di Lanud Halim Perdanakusumah. Dalam gelar tempurnya, BM-14 disiapkan sebagai unsur bantuan tembakan artileri bagi pasukan infantri dan kavaleri yang pertama kali melakukan pendaratan, dan selanjutnya melakukan penetrasi ke target di pedalaman. Karena Gaz-66 tak punya kemampuan amfibi, untuk menuju daratan, alutisista ini bisa diangkut menggunakan KAPA.
Inilah sekilas legenda alutsista TNI yang pernah membuat angkatan bersenjata Indonesia begitu kuat di Asia Tenggara. Jalesu Bhumyamca Jayamahe.

Spesifikasi BM-14/17 :
Negara asal             : Rusia/Uni Soviet
Jenis                        : multiple launch rocket system dengan 2 baris rak
Peluncur                  : 16 tabung
Kaliber                    : 140mm
Berat roket (total)    : 39,6Kg
Hulu ledak               : 4,2Kg
Panjang                   : 1.085mm
Jarak tembak max   : Mendekati 10Km
Kecepatan roket     : 400 meter/detik
Rentang Salvo         : 2 roket/detik
Platform                  : truk Gaz-66 4×4

Selasa, 25 Agustus 2015

Uji Roket Balistik R-Han 122B

Uji Roket Balistik R-Han 122B: Berangkat dari Penyempurnaan, Maksimalkan Jarak Jangkauan

R-122

 R-Han (Roket Pertahanan) 122 mm, bagian dari Program Strategis Nasional untuk kemandirian alutsista TNI, pada 20 Agustus lalu kembali dilakukan uji coba dinamik di Balai Produksi dan Pengujian Roket LAPAN, Pamengpeuk, Garut, Jawa Barat. Bila dalam uji coba pada Maret 2012, dilepaskan sebanyak 50 roket, maka pada uji tembak minggu lalu hanya dilepaskan enam unit roket. Meski begitu, pengujian kali ini yang disaksikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, menghadirkan R-Han 122B sebagai penyempurnaan dari varian terdahulu.

Image5

 Pada platform truk 6x6

 Uji dinamik 2 ini merupakan perbaikan minor dalam penyempurnaan di bidang desain untuk memperbaiki trajectory atau lintasan stabilitas dan jarak capai dari uji dinamik 1 yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai implementasi dari Konsorsium pada tahun 2014. Desain roket R-Han 122B mengacu pada model RM 70 Grad Marinir, pasalnya kedua roket mempunyai kaliber yang sama.

Desain-Roket-R-HAN-122-Prokimal-Online-Kotabumi-Lampung-Utara

R-Han 122B merupakan salah satu dari tujuh Program Strategis Nasional untuk memenuhi kebutuhan alutsista TNI, khususnya dalam deployment sistem senjata MLRS (Multiple Launch Rocket System). Arah pengembangan Roket Nasional adalah memenuhi spesifikasi teknis pengguna yakni RX-1220. Karena itu, R-Han 122B yang dikembangkan saat ini adalah dalam kerangka pencapaian sasaran tersebut. Program Roket R-Han 122B dimulai tahun 2014 dengan biaya APBN.

roket

 

Selain menjadi salah satu forum pembelajaran dalam mengejar teknologi peroketan di lingkungan Kemhan dan TNI, uji dinamik roket R-Han 122B ini juga digunakan sebagai wadah koordinasi guna mewujudkan sinkronisasi, serta sebagai sarana evaluasi dan diskusi dalam proses penyelenggaraan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pertahanan antar industri pertahanan.
Konsorsium Roket Nasional yang terdiri dari Kemhan, Kemristek dan Dikti, LAPAN, PT. DI, PT. Pindad, PT. Dahana, PT. Krakatau Steel, ITB dan ITS telah mengembangkan roket kaliber 122 mm dengan panjang propelan 2 meter dengan nama R-Han 122B yang mampu menjangkau sasaran darat ke darat sejauh 23 km.
Dikutip dari Kemhan.go.id (21/8/2015), Menhan menyambut baik capaian pengembangan Roket R-Han 122B yang merupakan hasil penyempurnaan dari uji coba sebelumnya. Hasil yang sudah diperoleh saat ini memiliki nilai strategis dalam membangun Industri Pertahanan yang mandiri serta mampu memproduksi alutsista yang canggih di masa depan. “Saya menaruh perhatian yang tinggi terhadap program Roket R-Han 122B ini untuk dapat dituntaskan dan kelak menjadi kekuatan alutsista TNI”, ungkap Menhan.